Minggu, 22 Mei 2011

Tidak ada hal yang paling kita kenal selain waktu, akan tetapi tidak ada hal lain yang lebih tidak diketahui selain waktu. Kita semua mengetahui tentang adanya sang waktu, dan ia menyelimuti kita, dan ia berlalu senantiasa, namun tepatnya berapa waktu yang masih tersisa tetap sebagai rahasia yang tidak diketahui oleh kebanyakan umat manusia.
Tidak ada hal lain yang mengadili kegiatan kita sehari-hari setegas sang waktu, namun sangat mengherankan, kita sedikit sekali berpikir tentang dia. Namun demikian, kehidupan kita tergantung sepenuhnya kepada sang waktu. Waktu sedang menggerakkan kita, membentuk kita, mencuri dari kita, dan pada akhirnya akan menghancurkan kita. Waktu tak henti-hentinya mendorong kita ke depan dan memaksa kita untuk patuh, tidak memberikan kita kesempatan untuk berhenti, berubah, atau bahkan mempengaruhi sumbernya.
Kita telah belajar untuk menghitung dan mengukur waktu, membagi dan menyimpan atau menghabiskannya. Namun, kita tetap begitu dipermainkan olehnya sehingga kita tidak mempunyai waktu untuk berpikir tentang definisi atau tujuan dari waktu yang maha-perkasa, yang berada di mana-mana. Kita tidak mengetahui jam berapa dan untuk apa kita berada di sini. Biasanya kita melihatnya hadir begitu saja tanpa bertanya mengapa kita diikat olehnya, apa yang seharusnya dipelajari darinya, atau bagaimana caranya kita melepaskan diri dari cengkeramannya. Bahkan kita dengan bangga mengklaimnya sebagai “waktu kita,” seakan waktu adalah ciptaan atau milik kita, tidak menyadari bahwa kita adalah budaknya.
Jadi, bertanya tentang sifat waktu bukan hanya pertanyaan dangkal dan teoritis belaka  kepada ilmuwan atau filosof rohani. Melainkan, pertanyaan ini akan membawa kita langsung tepat kepada intisari dari kehidupan kita. Ini adalah soal hidup dan mati, pertanyaan tentang asal mula dan tujuan dari dunia yang terwujud dan keberadaan kita di dalamnya.
Kita harus menginsyafi sifat sementara dan berkedip-kedip dari hal-hal yang tercipta di dalam sang waktu, termasuk badan, pikiran, perasaan, keinginan, kegiatan dan prestasi kita. Keinsyafan ini tidak dimaksudkan untuk melemparkan kita ke dalam samudera kebodohan dan penyesalan atau menyalakan hawa nafsu untuk bertindak, akan tetapi untuk membuka mata kita kepada dimensi yang bebas dari pengaruh waktu, atau kekekalan. Kekekalan bukanlah ekspansi dari waktu material yang tak terbatas. Melainkan ia adalah melampaui waktu material dan tempat tujuan dari kehidupan manusia. Dalam hal ini, setiap pembicaraan yang serius mengenai waktu pada akhirnya akan membawa kita kepada agama, dan semua usaha untuk mengerti gejala waktu secara terpisah dengan Tuhan pasti akan gagal.
Apakah Waktu tersebut?
Ilmu pengetahuan dan teknologi modern lebih banyak mengacu kepada penghitungan dan pengukuran waktu, sedangkan mendefinisikan gejala waktu selalu menjadi urusan ilmu agama dan filsafat.
Homer, Pythagoras, Heraclitus, Parmenides, Plato, Aristotle, Lucretius, Seneca, dan Plotinus adalah contoh dari para pemikir jaman kuno yang menonjol yang mencoba untuk menggenggam makna dari waktu. Kemudian pada abad pertengahan, St. Augustine, salah seorang pastur yang berpengaruh, menyelidiki mata pelajaran ini secara mendalam. Dan pada jaman modern, para ahli fisika dan matematika seperti Copernicus, Kepler, Descartes, Newton, dan kemudian akhirnya Poincare dan Einstein mencoba untuk memberikan penjelasan yang cukup mengenai waktu, dan dilakukan juga oleh para filosof seperti Kant, Hegel, Marx, James, Nietzsche, Bergson, Whitehead, Wittgenstein, dan Heidegger.
Tanpa membahas teori-teori mereka, kita bisa menyimpulkan bahwa akhirnya mereka tidak mampu memberikan penjelasan yang mendalam atau sampai kepada pengertian yang mendalam mengenai waktu.
Waktu sebagai Kehadiran Tuhan
Kitab-kitab Veda India kuno, waktu (dalam bahasa Sanskerta disebut kala) adalah salah satu dari lima mata pelajaran filsafat dasar. (Empat yang lainnya adalah Tuhan, sang roh, dunia, dan karma). Di dalam Bhagavad-gita, buku filsafat Veda yang utama, Krishna, Kepribadian Tuhan Yang Mahaesa, menjawab pertanyaan mengenai waktu hanya dengan dua kata saja. Beliau bersabda, kalo'smi, "Aku adalah Waktu."
Jadi Veda mendefinisikan waktu sebagai “kehadiran Tuhan” di mana-mana di dunia ini. Dengan kata lain, adalah salah satu kemungkinan dengan mana orang bisa merasakan dan menginsyafi Tuhan. Tuhan adalah waktu, dan adanya waktu adalah bukti dari adanya Tuhan. Tanpa adanya Tuhan maka tidak akan ada yang dinamakan waktu, dan tanpa adanya waktu tidak akan ada dunia ini. St. Augustine berkata, non in tempore sed cum tempore Deus creavit caela et terram, "Tuhan menciptakan Surga dan Bumi bukan di dalam waktu, akan tetapi melalui waktu.” "
Waktu tidak tercipta melalui sebuah "big bang" pada awal perwujudan alam semesta seperti diklaim oleh teori-teori atheis modern tertentu. Melainkan, Tuhan, sebagai Faktor Waktu, menciptakan jagat raya ini. Dengan demikian waktu eksis secara independen di luar ciptaan material, dan waktu tetap ada setelah peleburan alam semesta.
Karena waktu adalah suatu aspek Tuhan, ia bukanlah pasif— yang “berlalu” begitu saja. Melainkan, ia adalah sesuatu yang aktif yang memaksa segala sesuatu untuk bergerak menuju kehancuran (akar kata Sanskerta kala adalah kal, yang berarti “memaksa.”). Waktu adalah sesuatu yang paling berkuasa di dunia. Ia memaksa segala sesuatu menjadi masa lalu, dan tidak ada orang yang bisa menghentikannya ataupun keluar dari pengaruhnya. Oleh karena itulah kitab-kitab Veda mengatakan bahwa waktu adalah aspek Tuhan yang berada di mana-mana yang bisa dilihat oleh setiap orang.
Apakah Waktu Bersifat Relatif?
Beberapa orang mengatakan bahwa waktu adalah bersifat relatif, tetapi hal ini adalah tidak benar dan mudah sekali disalah-mengerti. Karena waktu adalah aspek Tuhan, maka ia adalah mutlak dan berlaku universal. Hanya pemahaman dan ukuran kita mengenai waktu saja yang bersifat relatif disebabkan oleh badan material kita. Sebagai contoh, badan manusia merasakan waktu dengan cara yang berbeda dengan badan seekor laron. Demikian juga, kitab Veda menguraikan para mahluk hidup di dalam jagat raya ini (para dewa) dengan masa hidup yang jauh lebih panjang daripada kita. Walaupun pemahaman relatif para mahluk hidup mengenai waktu berbeda sepenuhnya, namun demikian mereka sama-sama mengalaminya dengan cara yang serupa. Waktu juga memaksa mereka melewati masa kanak-kanak, masa muda, masa tua, dan akhirnya kematian. Bahkan Dewa Brahma, mahluk hidup tertinggi di alam semesta ini, yang masa hidupnya terhitung sekitar 311 triliun tahun, akan menjadi tua dan meninggal.
Dengan demikian pengertian waktu menurut Veda ini memecahkan masalah filosofis dan ilmiah yang ada di dalam benak para pemikir Eropa selama berabad-abad: Apakah hanya ada waktu mutlak yang tunggal yang berlaku di seluruh jagat raya ini, seperti yang diusulkan oleh Isaac Newton, atau apakah ada banyak macam bentuk waktu yang relatif, seperti dinyatakan oleh teori relatifitas modern?
Jawaban Veda yaitu bahwa kedua gagasan tersebut adalah benar. Dari sudut pandang mutlak (sudut pandang Tuhan), hanya ada waktu yang tunggal yang berlaku secara universal. Akan tetapi para mahluk hidup memahami waktu yang mutlak ini secara relatif, menurut jenis badan material yang mereka miliki, dan juga kecepatan yang mereka tempuh di ruang angkasa, dan kedudukan geografis mereka.
Waktu Material dan Spiritual
Setiap hari kita mengalami waktu dalam tiga fase waktu yang berurutan: masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang, dan waktu selalu mempunyai awal dan akhir. Dalam istilah Veda, kita menyebutnya sebagai waktu material (bertentangan dengan waktu spiritual di dunia rohani). Hal yang membahayakan dari waktu material tetap tidak bisa kita lihat. Kita tidak bisa melihatnya secara langsung, seperti halnya kita tidak bisa melihat kehadiran Tuhan secara langsung di dalam alam semesta ataupun kehadiran sang roh di dalam badan. Namun demikian sama halnya dengan Tuhan dan sang roh, kita bisa memahami sang waktu melalui gejalanya—perubahan terus-menerus dari masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang yang memahlukkan segala sesuatu dan setiap orang.
Dalam Bhagavad-gita (11.32) Krishna bersabda, "Aku adalah Waktu, penghancur dunia, Aku telah turun ke sini untuk menghancurkan semua orang.” Jadi kita bisa mengerti bahwa waktu dan Tuhan sebagai penghancur yang hebat, yang menyebabkan kita menyesal karena kehilangan milik kita di masa lalu dan membuat kita menginginkan sesuatu atau mengkhawatirkan apa yang mungkin akan terjadi di masa yang akan datang. Di dunia material ini, masa lalu dan masa yang akan datang kelihatan lebih baik karena kecemasan akibat kehilangan yang akan datang menjambret kepuasan yang dialami sekarang.
Namun kita tidak dipaksa untuk mengerti waktu dan Tuhan hanya dengan cara seperti ini saja. Agama menawari kita cara yang jauh lebih menyenangkan untuk menginsyafi waktu dan Tuhan. Kitab Veda menjelaskan bahwa di dunia rohani, di kerajaan Tuhan, waktu hadir selamanya. Sifat-sifat masa lalu dan masa yang akan datang dan akibat-akibat buruk dari sang waktu (penghancuran, kegagalan, kekecewaan, halangan, frustasi, kebosanan, penantian) yang kita alami di sini tidak ada di dunia rohani.
Waktu spiritual mengatur berangkainya kebahagiaan rohani yang berlangsung terus-menerus yang dialami dalam hubungan dengan Kepribadian Tuhan Yang Mahaesa. Hubungan yang membahagiakan ini menyibukkan para mahluk hidup di dunia rohani untuk terserap sepenuhnya kepada objek pujaan mereka. Walaupun segala sesuatu di sana adalah secara mutlak hadir selamanya, peristiwa-peristiwa terjadi dalam suatu rangkaian keaneka-warnaan yang penuh kebahagiaan kekal.
Oleh karena itu agama Veda meminta kita untuk menggunakan waktu kita di dalam  dunia material ini untuk melayani Tuhan dengan cinta bhakti. Dengan melakukan demikian, kita akan membuat diri kita memenuhi syarat untuk menerima karuniaNya. Sehingga pada akhir dari badan ini, atas kekuatan karuniaNya, kita akan bisa diizinkan untuk pulang kembali ke dunia rohani yang kekal, yang berada di luar ruang dan waktu material
Bibliografi
—http://www.iskcon.org
MUTIARA VEDA
Seseorang harus mempunyai kemauan keras untuk mengetahui kebenaran. Jika orang ingin belajar berenang, dia haruslah tidak takut air. Pada saat yang sama orang harus mengerti bahwa çaraëägati atau penyerahan diri bukan sesuatu yang sulit. Sesungguhnya, hal itu mudah dan alami bagi sang roh. Dan apa pun yang bertentangan dengan hal itu, tidaklah  alami tetapi sebenarnya menyakitkan.
—Srila Bhaktisiddanta Sarasvati Thakur
Jawaban atas pertanyaan seorang murid
Bibliografi
Kembali Kepada Ketuhanan. Terjemahan Back to Godhead Vol 36. Februri 2002.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar