Sabtu, 28 Mei 2011

Kitab Veda, Itihasa, dan Purana Mengapa Disebut Mitologi

(Diambil dari majalah Sanatana Dharma – Narayana Smrti Ashram Yogyakarta)
Karena sulit diterima oleh akal sehat dan tidak didukung oleh temuan bukti-bukti yang ilmiah, apa yang dijelaskan dalam kitab-kitab Weda sering disebut sekedar mitologi dan dongeng belaka. Benarkah umat Hindu memuja Tuhan dan dewa yang hanya ada dalam m i t o l o g i ? B a g a i m a n a mengklarifikasi anggapan keliru seperti itu?
Setelah membaca artikel-artikel tentang berbagai ramalan dalam Weda dalam newsleter Sanatana Dharma ini, beberapa pembaca sempat menyampaikan pertanyaan kritis kepada tim redaksi. Pertanyaan itu menyangkut referensi atau buku acuan yang kami gunakan, yaitu kitab-kitab Purana, Upanisad, dan Itihasa. Dalam hampir semua tulisan, kami mengutip ayat-ayat kitab Bhagavata Purana dan Bhagavad-gita guna mendukung dan memperkuat gagasan-gagasan yang kami munculkan. Pertanyaan mereka masalahnya, bukankah sebagai umat Hindu kita telah fasih dan tanpa beban menyebut semua kisah dalam kitab-kitab Purana, Upanisad, dan Itihasa itu adalah semata-mata sebuah mitologi? Tidakkah itu berarti umat Hindu mendasarkan ajaran agamanya hanya pada mitos atau dongeng yang kebenarannya masih perlu diragukan??
Ambillah contoh kitab Bhagavadgita. Bhagavad-gita memuat wejangan rohani yang disampaikan oleh Sri Krishna kepada Arjuna menjelang berlangsungnya perang Bharata Yudha, yang konon terjadi sekitar lima ribu tahun yang lalu. Kita semua tahu bahwa Bhagavad-gita sebenarnya adalah bagian dari Bhisma Parwa, salah satu diantara 18 Parwa kitab Mahabharata. Sri Krishna, Arjuna, beserta para Pandawa adalah tokoh-tokoh utama dalam kisah Mahabharata. Tetapi dalam anggapan sebagian besar masyarakat Hindu sekalipun, Mahabharata tidak lebih daripada sekedar sebuah epos, cerita kepahlawanan yang dikarang oleh Rsi Vyasa. Ketika kita jelaskan bahwa tempat-tempat yang disebutkan dalam kitab Mahabharata saat ini masih bisa kita telusuri lokasinya, orang masih akan menyangkal dan meragukan penjelasan itu. Menurut mereka, Rsi Vyasa terinspirasi oleh nama-nama tempat itu, lantas mengarang cerita fiksi, yang mengambil nama-nama seperti Hastinapura (sekarang New Delhi), Dwaraka, dan lainlain sebagai latar atau setting terjadinya kisah dalam Mahabharata.
Apalagi, dalam masyarakat Indonesia, terutama masyarakat Jawa, Krishna dan Arjuna dikenal sekedar sebagai tokoh-tokoh wayang. Bahkan, ada orang Jawa yang akan marah besar, kalau dikatakan bahwa Mahabharata berasal dari India. Mereka meyakini, bahwa kisah Mahabharata terjadi di Jawa, dibuktikan dengan adanya nama nama tempat dan gunung di Indonesia yang diberi nama Arjuna, Bima, dan lain-lain. Jadi, mana yang benar? Benarkah ajaran Hindu hanya berdasar pada mitos-mitos dan dongeng yang masih diperdebatkan asal usulnya?

Pengertian Mitos dan Mitologi
Apa sebenarnya arti kata mitos dan mitology? Kata mitologi, berasal dari bahasa Inggeris “myth”. Dalam kamus Webster NewWorld College Dictionary 3rd Edition, kata “myth” diartikan sebagai : “1) any fictitious story; or unscientific account, theory, belief, etc 2) any imaginary persons or thing spoken asthough existing.” Artinya : 1) sembarang kisah atau cerita fiksi (tidak nyata/hayalan/dongeng); atau kejadian, teori dan kepercayaan dan lain-lain yang tidak bersifat ilmiah. 2) sembarang orang atau sesuatu yang dianggap seolah-olah benar-benar ada.
Jadi, menurut definisi di atas, kalau orang menyebut Mahabharata, atau Ramayana sebagai mitologi atau mitos, itu berarti bahwa Mahabharata dan Ramayana hanyalah sebuah dongeng, sebuah cerita fiksi, yang sebenarnya tidak pernah benar-benar terjadi di alam nyata. Bukankah secara ilmiah, tidak ada bukti-bukti kuat yang mendukung kebenaran kisah-kisah Purana itu? Bukankah itu juga berarti uraian tentang dasa awatara (sepuluh awatara Wishnu) dalam Purana- Purana juga tidak lebih dari dongeng? Lantas, apakah dapat disimpulkan bahwa umat Hindu memuja Tuhan dan para dewa yang hanya ada dalam dongeng?
Dari Mana Asal Sebutan Mitologi itu?
Melongok asal mula mengapa kitab-kitab Purana dijuluki mitologi, kita akan temukan beberapa alasan. Setidaknya, kami melihat ada 2 alasan. Pertama, kata “Purana” berarti sejarah. Dan memang, kitab-kitab Purana mengandung banyak sejarah tentang kegiatan atau lila Tuhan, para dewa, atau penyembah-penyembah mulia Tuhan. Matysa Purana, misalnya, berisi kisah tentang kemunculan Sri Wishnu yang menjelma sebagai seekor ikan raksasa yang menyelamatkan seorang raja saleh bernama Raja Stayavrata. Kisah ini sebenarnya sangat mirip dengan kisah Nabi Nuh dalam Islam yang juga diselamatkan dari Banjir Besar. Sayangnya, dalam Mastya Purana tersebut tidak disebutkan kapan persisnya peristiwa tersebut terjadi. Padahal, dalam dunia akademik dan ilmiah, adanya angka tahun ini merupakan syarat penting bagi kita untuk percaya bahwa sesuatu peristiwa benar benar terjadi. Tapi jangan merasa kecil hati, karena kalau kita tanyakan kepada umat Islam, kapan terjadinya Banjir Besar itupun, mereka juga akan kesulitan menyebutkan angka tahun yang pasti.
Kalaupun kemudian kita berikan penjelasan bahwa Matsya Awatara muncul pada jaman Staya Yuga, ratusan juta tahun yang lalu, orang masih akan mendebat dengan menyatakan bahwa menurut Teori Evolusi Darwin, adanya jenis kehidupan seperti kera (belum jadi manusia, lho) baru mulai sekitar 100 ribu tahun yang lalu. Manusia jenis homo sapien, yang dikatakan sebagai cikal bakal manusia modern seperti kita baru ada sekitar 5 ribu tahun yang lalu. Jadi, bagaimana mungkin telah ada seorang Raja bernama Satyavrata jutaan tahun yang lalu?
Begitupun dengan kisah Mahabharata. Menurut Professor K. Srinivasaraghavan, dalam perhitungan ilmu perbintangan Weda (Jyotishastra), perang di Kuruksetra tersebut terjadi pada tanggal 22 November 3067 Sebelum Masehi. Kesimpulan itu didasarkan pada keterangan-keterangan waktu yang terdapat dalam ayat-ayat Mahabharata itu sendiri. Namun, angka tahun itu ditolak oleh sebagian kalangan sejarawan Barat, karena menurut Teori Invasi (Penyerangan) bangsa Arya ke Dravida ciptaan Max Muller, bangsa Arya diperkirakan datang ke India baru pada sekitar tahun 1500 SM. Menurut teori yang sudah terlanjur dianggap benar itu, Bangsa Arya lah yang merupakan pembawa Rg Weda ke India. Jadi, kalau teori ini benar, bahkan Weda dan peradaban Hindu tidak murni lahir dari India, melainkan berasal dari wilayah Indo- Jerman, tempat asal bangsa Arya.
Alasan kedua, julukan mitologi pada Weda tidak dapat kita lepaskan begitu saja dari konteks sejarah penjajahan India oleh Inggeris selama ratusan tahun. Kolonial Inggeris mulai resmi menjajah India sejak mereka memenangkan pertempuran yang dikenal sebagai Battle of Plassey tahun 1757 (Satsvarupa, 1977). Adalah sebuah fakta bahwa penjajahan Inggeris di India dimanfaatkan oleh para misionaris Kristen untuk mengalihkan agama penduduk India dari Hindu menjadi Kristen. Mereka mulai membuka sekolah dan perguruan tinggi Kristen dan menyebarkan propaganda yang menjelek-jelekkan Hindu. Alexander Duff (1806 – 1878) mendirikan Scots College di Calcutta, yang ia cita-citakan menjadi “headquarters for a great campaign against Hinduism” (pusat kampanye besar melawan Hindu). Para misionaris itu tidak segan segan menyebut kitab-kitab Weda sebagai “absurdities meant for the amusement of children” yang artinya “serangkaian takhayul yang dimaksudkan untuk hiburan anakanak”.
Dengan tujuan besar seperti di atas, mulailah muncul kalangan intelektual Inggeris yang menggangap perlu untuk mendidik orang-orang India dengan ilmu pengetahuan Barat. Upaya itu dimulai dengan lahirnya beberapa orang Inggeris yang mempelajari budaya India dan menguasai bahasa Sanskerta. Terbentuklah sebuah organisasi yang bernama Royal Asiatic Society. Mereka-mereka ini selanjutnya dikenal sebagai “indologists”, yang kemudian menjadi para penterjemah kitab kitab Weda ke dalam bahasa Inggeris. Sir William Jones (1746 – 1794), Charles Wilkins (1749 – 1836), dan Thomas Colebrooke (1756 – 1837) dianggap sebagai para pelopor “indologist”.
Tentu saja, mereka adalah orang orang Kristen yang sangat taat dan terpelajar, sehingga tujuan mereka menterjemahkan kitab-kitab Weda ke dalam bahasa Inggeris bukannya tanpa maksud tertentu. Mereka sadar bahwa tidaklah mudah untuk mengubah keyakinan orang India terhadap tradisi turun temurun mereka yang bersumber pada kitab-kitab Weda. Karena itulah, mereka berpendapat bahwa satu-satunya cara adalah menunjukkan kepada orang orang India bahwa kitab Weda yang mereka yakini tidak lebih dari sekedar takhayul, dongeng, dan mitologi yang tidak masuk akal.
William Jones misalnya, menyebut Bhagavata Purana sebagai “kisah saduran” dan ia berspekulasi bahwa Bhagavata sebenarnya meniru Gospel Kristen yang dibawa ke India, dan bahwa Kesava (nama lain Krishna) sebenarnya adalah Apollo pahlawan Yunani. Teori ini telah terbukti salah, karena berbagai temuan arkeologi yang berhubungan dengan legenda Krishna menunjukkan bahwa Krishna telah ada jauh sebelum agama Kristen lahir (lihat newsleter Sanatana Dharma berjudul “Legenda Krishna, Menyadur Kisah HidupKristus?”).
Tokoh Indologist lain yang sangat besar pengaruhnya pada kesan masyarakat dunia terhadap Weda adalah Frederich Max Muller (1823 – 1900). Muller adalah ahli bahasa Sanskerta asal Jerman yang kemudian bekerja pada East India Company, dan dipercaya untuk menterjemahkan kitab Rg Veda ke dalam bahasa Inggeris. Muller inilah yang kemudian menciptakan teori “Legenda Arya” dan “Invasi bangsa Arya ke Dravida.” dengan mendasarkan argumentasinya pada ayat-ayat dalam kitab Rg Veda itu sendiri. Bahwa ada sebuah suku bangsa Arya yang telah memiliki peradaban yang tinggi, berasal dari kawasan Iran. Bangsa Arya ini hidup berpindah-pindah, berperang dan menaklukkan suku bangsa lainnya, termasuk suku bangsa Dravida berkulit hitam, yang merupakan suku asli India.
Kebanyakan, buku-buku tentang Hindu dan Weda yang bertebaran di perpustakaan dunia saat ini, yang berbahasa Inggeris, adalah hasil terjemahan dan tulisan para indologist tersebut dengan maksud menjelekjelekkan Hindu, dan mengharap orang beralih menjadi Kristen. Karena itulah, tidak mengherankan kalau orang-orang mengenal kitab Weda sebagai mitologi dan dongeng, karena mereka membaca buku-buku yang memang ditulis untuk misi-misi khusus pada masa itu.
Weda Bukan Mitologi!
Dari uraian di atas, jelas menjadi sebuah tantangan bagi kita untuk paling tidak meyakinkan diri kita sendiri, sebelum meyakinkan orang lain, bahwa Weda khususnya Itihasa dan Purana, bukan sekedar mitologi. Bagaimana caranya?
Pertama, berhubungan dengan bukti-bukti ilmiah yang sering dianggap tidak memadai untuk mendukung kebenaran sejarah Weda. Dalam Weda, disebutkan bahwa ada berbagai metode atau cara yang dapat kita tempuh untuk memperoleh pengetahuan. Salah satunya adalah pratyaksa, yang berarti persepsi langsung dengan mengandalkan indera kita sebagai alat utamanya. Metode kedua adalah anumana, yaitu pengambilan kesimpulan (inferensi). Metode yang lain disebut sabdha, atau mendengar dari sumber yang dibenarkan.
Dari ketiga metode itu, ilmu pengetahuan modern lebih di dasarkan pada dua metode yang pertama, yaitu pratyaksa dan anumana. Sebaliknya, Weda lebih mendasarkan pada metode sabdha, mendengarkan dari penguasa atau sumber rohani. Yang dimaksud penguasa disini bukanlah sebuah rezim yang dictator atau pun seorang raja atau pemimpin yang memiliki kekuasaan mutlak. Ambillah contoh sebuah buku. Orang yang paling paham dengan maksud yang ada dalam buku itu, adalah sang penulis buku itu sendiri. Dalam hal ini, penulis itu disebut sebagai penguasa (authority) bagi buku itu
Untuk mendapatkan pengetahuan rohani atau spiritual, Weda menolak penggunaan metode pratyaksa dan anumana. Mengapa? Karena pratyaksa pramana mengandalkan pada kemampuan indera kita dalam menangkap atau memahami sesuatu. Sedangkan indera-indera kita jelas-jelas memiliki banyak kelemahan. Kita tidak bisa melihat benda yang terlalu dekat, atau benda yang terlalu jauh. Dalam ilmu fisika, banyak sekali dipelajari tentang kelemahan mata, telinga, dan kulit kita. Meskipun kemudian kita menciptakan alat-alat untuk membantu penglihatan dan pendengaran kita, akan tetapi jangan lupa bahwa alat-alat itupun kita buat dengan menggunakan indera yang tidak sempurna. Alat-alat itu digunakan oleh manusia yang inderanya tidak sempurna, dan dianalisa oleh orang yang inderanya tidak sempurna.
Setelah menyadari bahwa pratyaksa memiliki banyak kelemahan, para ilmuwan sekarang mengandalkan metode anumana , yang kadang mengarah pada spekulasi, interpolasi,interpretasi untuk mengambil kesimpulan mengenai hal-hal yang tidak dapat diamati secara langsung oleh panca indera manusia.
Contoh nyata spekulasi itu adalah teori tentang penciptaan alam semesta. Manusia adalah makhluk yang serba terbatas, dan hidup hanya di satu planet bumi ini. Ada jutaan planet di alam semesta ini, dan mungkin jutaan galaxy, yang kita tidak pernah mengetahuinya. Umur manusia pendek, hanya ratusan tahun, dan ilmu pengetahuan modern juga baru berkembang beberapa ratus tahun terakhir ini. Namun demikian, para ilmuwan itu telah berani dengan lantang menyatakan kepada kita, apa yang telah terjadi jutaan tahun yang lalu. Mereka menyimpulkan bahwa alam semesta tercipta karena adanya sebuah ledakan besar yang disebut dengan Big Bang Theory. Bukankah tidak seorang ilmuwanpun yang hadir dan menyaksikan pada saat alam semesta tercipta? Kalau ada pihak pihak yang meragukan atau mempertanyakan kebenaran teori itu, maka akan dilabeli dengan sebutan dogmatis, tidak scientific, penganut agama yang fanatik, sentimentalis, dan sebagainya.
Big Bang Theory = Uraian Weda
Sekarang marilah kita coba bandingkan, apa yang diuraikan dalam Weda yang sering dianggap sebagai takhayul atau mitologi, dengan hasil temuan terakhir para ilmuwan mengenai terciptanya alam semesta. Anehnya, apa yang akhir-akhir ini ditemukan oleh para ilmuwan itu, semuanya telah dijelaskan dalam Weda beribu-ribu tahun sebelum para ilmuwan menyadarinya.
Tahun-tahun terakhir ini, ilmuwan fisika dan astronomi mengusulkan teori terbaru terciptanya alam semesta. Mereka menyebut teori itu Big Bang Theory. Teori ini muncul bermula dari pengamatan ahli astronomi Edwin Hubble pada tahun 1920-an (Cremo, 2003) yang menemukan fakta bahwa alam semesta ini seolah mengembang. Ada penjelasan teknis yang cukup rumit mengenai hal ini, yang menyangkut panjang gelombang dan spectrum cahaya. Secara sederhana, terbukti bahwa cahaya yang terpancar dari berbagai galaxy yang ditangkap oleh bumi kita ini makin lama makin besar panjang gelombangnya. Ini menunjukkan bahwa jarak antara bumi dan galaxy – galaxy itu semakin jauh, artinya alam semesta ini mengembang! Galaxy-galaxy itu dapat diibaratkan sebagai bintik-bintik warna yang terdapat pada kulit balon mainan anak-anak yang terus menerus ditiup. Bila balon ditiup, lama-kelamaan, bintikbintik warna pada kulit balon itu akan memiliki jarak yang makin besar satu sama lain.
Berdasarkan temuan ini, para ahli astronomi dan ahli fisika mengemukakan sebuah teori, bahwa alam semesta ini mulai muncul sebagai sebuah fluktuasi quantum mechanical vacuum, atau mekanika kuantum kosong, yang secara mudah digambarkan sebagai lautan energi yang tak terdefinisikan. Menurut teori itu, pada tahap awal alam semesta ini dalam bentuk benih alam semesta (seedlike universes) yang sangat-sangat kecil, padat, dan sangat panas. Lalu dalam waktu singkat ia menggelembung dengan pesat, kemudian seiring dengan proses mengembang itu, benih alam semesta tersebut dipenuhi dengan plasma yang super panas ( superhot plasma).
Setelah mengembang dalam kurun waktu lama, dan juga mengalami pendinginan, plasma-plasma bersuhu tinggi tersebut memadat menjadi sub partikel unsure-unsur hydrogen, helium, dan deuterium. Proses-proses selanjutnya, yang memakan waktu jutaan tahun, membuat bahan-bahan itu menjadi planet, bintang, dan galaxy, lalu terbentuklah alam semesta yang kita huni saat ini. Soal kapan persisnya hal itu terjadi, para ahli itu tak mampu menjelaskannya. Dalam teori itu, para ilmuwan juga mengusulkan bahwa alam semesta memancar dan mengembang dari sebuah lubang putih (white hole), kemudian akan mengalami penyusutan dan masuk ke dalam lubang hitam (black hole). Jadi, white hole memunculkan alam semesta, lalu black hole menelan alam semesta itu.
Bagaimana dengan uraian asal usul alam semesta menurut Weda? Dalam Bhagavata Purana dan Brahma Samhita dijelaskan sebagai berikut: Diluar konsep ruang dan waktu seperti yang kita pahami saat ini, Maha-Vishnu berbaring di lautan Karana (Lautan Penyebab). Dari pori-pori Maha-Vishnu ini bermunculanlah “benih-benih alam semesta” yang jumlahnya tak terhingga. Ketika Maha-Vishnu memandang benih benih itu, memberikan energi kepada elemen tersebut dengan energi Beliau, maka mereka mulai mengembang dalam kecepatan yang sangat tinggi. Dalam masing-masing alam semesta, perlahan lahan terbentuklah unsur-unsur alam, mulai dari yang paling ringan hingga yang lebih berat. Dan alam semesta terus menerus mengembang. Alam semesta-alam semesta tersebut eksis dalam kurun waktu satu kali nafas Maha-Vishnu. Saat Maha- Vishnu mengeluarkan nafas alam semesta diciptakan, dan pada saat Beliau menarik nafas, alam semesta dileburkan (Cremo, 2004 : 465).
Perhatikan bahwa baik Big Bang Theory maupun uraian Weda mengenai asal usul alam semesta memiliki banyak persamaan. Big Bang Theory juga mengusulkan adanya lautan energi yang tidak dapat dipahami sebagai sumber munculnya alam semesta. Kitab Weda juga menyatakan hal yang sama. Beberapa ahli kosmalogi mengusulkan bahwa ada white hole yang “memuntahkan” alam semesta, dan ada black hole yang menelan alam semesta pada suatu masa. Weda juga menyebutkan bahwa alam semesta muncul dan terserap ke dalam lubang, dalam hal ini adalah pori-pori kulit Maha-Wishnu. Keduanya juga menyebutkan bahwa pada tahap awal terjadi proses mengembang yang berlangsung dalam jangka waktu yang sangat cepat.
Big Bang Theory dan uraian Weda sama-sama menyatakan bahwa pada saat terjadinya proses mengembang, alam semesta memancarkan cahaya radiasi, keduanya menyatakan bahwa alam semesta terus menerus mengembang, dan sama-sama menyebutkan bahwa proses itu melibatkan alam semesta yang jumlahnya tidak terhingga.
Tentu saja, perbedaannya keduanya juga tampak jelas. Uraian Weda menyatakan bahwa penciptaan alam semesta itu terjadi melalui campur tangan Tuhan dalam wujudnya sebagai Maha- Vishnu, sedangkan teori Big Bang menyatakan alam semesta “dimuntahkan” dari lautan energi, yang kalau ditanya lebih jauh, apa dan bagaimana asal mula energi itu juga akan bungkam. Mereka akan menjawab bahwa energi itu ada begitu saja….tanpa ada kecerdasan ilahi (divine intelligent) yang mengatur dibalik semua proses tersebut.
Disinilah letak tidak adilnya para ilmuwan modern yang mengkritik Weda. Ketika kita jelaskan bahwa alam semesta ada karena diciptakan oleh Tuhan, maka mereka akan bertanya : “Lalu, siapa yang menciptakan Tuhan?” Kalau kita jawab “Tuhan itu ada begitu saja tanpa ada yang menciptakan, dan takterdefinisikan, sebab dari segala sebab, sumber segala sesuatu”, para ilmuwan itu akan menyebut kita dogmatis, fanatik, dan tidak scientific. Tapi lihatlah, bukankah mereka juga berbuat dogmatis ketika mereka mengusulkan Big Bang Theory, dan teori-teori lainnya? Ambillah contoh, ketika kita tanyakan darimana asalnya “lautan energi” yang mereka sebut sebagai sumber pelontar “benih benih” alam semesta itu? Dari mana asalnya white hole dan black hole…yang menjadi “pelontar” dan “penelan” alam semesta itu? Mereka juga akan menjawab “lautan energi itu ada begitu saja, terjadi secara kebetulan, tanpa ada yang menyebabkan….” Nah, bukankah itu tidak menyelesaikan masalah??? Bukankah mereka mulai dari tengah tengah, bukan dari asal usul alam semesta itu sendiri? Bukankah seharusnya, kalau mereka menyebut “asal-usul” alam semesta, mereka harus bisa menjelaskan asal-usul lautan energi yang menjadi sumber munculnya alam semesta itu? Ilmuwan itu juga menyebut bahwa “benih” alam semesta yang belum mengembang itu bersifat “immeasurably small, dense, and hot” yang artinya baik ukuran, sifat padat, maupun panasnya tidak dapat dijelaskan secara ilmiah dan secara matematis. Dan karena mereka scientist, kita dipaksa percaya begitu saja dengan penjelasan mereka, yang sebenarnya juga sama dengan jawaban kita saat mereka bertanya siapa yang mengadakan Tuhan…Bukankah itu juga dogmatis? Bukankah itu juga mitologi??
Suatu ketika Mr. Carl Sagan, seorang ahli kosmologi melakukan show di sebuah TV di Amerika. Dengan bantuan animasi dan simulasi komputer, Mr. Sagan mempresentasikan semua teori yang dikemukakan oleh para ahli fisika astronomi saat ini. Dijelaskannya tentang panjang gelombang cahaya galaxy yang terus bertambah, alam semesta mengembang, teori Big Bang, efek Dopler, dan sebagainya. Para pemirsa terkejut, ketika menjelang akhir acaranya Mr. Sagan terlihat berada di India, berdiri di depan sebuah temple Krishna yang telah berusia ribuan tahun. Mr. Sagan berkata “Para ilmuwan menemukan semua teori yang telah saya paparkan tadi tahun-tahun akhir ini saja, sedangkan di sini, di India, orang sudah mengetahui informasi itu sejak ribuan tahun yang lalu, dari kitab-kitab Weda…” (Danavir Gosvami, 2002). Uraian di atas hanya salah satu bukti dan sanggahan bahwa Weda bukan mitologi. Masih banyak bukti lain, yang akan kami bahas pada edisi-edisi mendatang. Banggalah menjadi Hindu!
Referensi :
1. Michael Cremo. 2003. Human Devolution, A Vedic Alternatif to Darwin’s Theory
Los Angeles, Torch Light Publishing, Bhaktivedanta Book Trust
2. Professor K. Srinivasaraghavan, 2003. Searching for Historical Krishna. Artikel
dalam http://harekrishna.cz.
3. Danavir Gosvami (2002). Jurnal Vaishnava Society, Vol 5. Rupanuga Vedic College,
Kansas City

Tidak ada komentar:

Posting Komentar