Minggu, 22 Mei 2011

Tri Guna

Dalam ilmu Fisika modern—Fisika Klasik, Quantum Mekanistik, dan Holistik—salah satu istilah yang paling sering digunakan adalah “hukum alam”. Sejak jaman Einstein, para ilmuwan mencari suatu Grand Unified Theory yang akan memadatkan semua “hukum-hukum alam” menjadi sebuah formula yang universal yang menjelaskan baik materi maupun kesadaran. Cukup menarik, dalam bahasa Sansekerta kami menemukan kesulitan untuk mencari padanan kata bagi
istilah “hukum alam”. Kata-kata bahasa Sanskerta seperti hetu (dalam Bhagavad-gita9.10), yang berarti suatu prinsip yang menyebabkan,” secara langsung menunjuk kepada hukum-hukum alam, namun kata ini sangat langka. Akan tetapi ada sebuah kata dalam teks-teks metafisik Sanskerta yang penggunaannya sama seringnya dengan istilah “hukum alam” di dalam ilmu fisika modern. Kata itu adalah guna, biasanya diterjemahkan menjadi  “sifat alam material.”
Dalam ilmu Fisika modern—Fisika Klasik, Quantum Mekanistik, dan Holistik—salah satu istilah yang paling sering digunakan adalah “hukum alam”. Sejak jaman Einstein, para ilmuwan mencari suatu Grand Unified Theory yang akan memadatkan semua “hukum-hukum alam” menjadi sebuah formula yang universal yang menjelaskan baik materi maupun kesadaran. Cukup menarik, dalam bahasa Sansekerta kami menemukan kesulitan untuk mencari padanan kata bagi
istilah “hukum alam”. Kata-kata bahasa Sanskerta seperti hetu (dalam Bhagavad-gita9.10), yang berarti suatu prinsip yang menyebabkan,” secara langsung menunjuk kepada hukum-hukum alam, namun kata ini sangat langka. Akan tetapi ada sebuah kata dalam teks-teks metafisik Sanskerta yang penggunaannya sama seringnya dengan istilah “hukum alam” di dalam ilmu fisika modern. Kata itu adalah guna, biasanya diterjemahkan menjadi  “sifat alam material.” 
Kata bahasa Inggris “mode” (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi sifat) berkonotasi paling tepat dengan kata bahasa Sanskerta guna (sifat alam material). "Mode" berasal dari bahasa Latin modus, dan kata ini diterapkan secara khusus dalam filsafat Eropa. Modus berarti “ukuran”. 
Kata ini digunakan untuk membedakan dua aspek:
Alam material: yang tidak bisa diukur (yang disebut natura naturans, alam yang kreatif/ the creative nature) dan yang bisa diukur (yang disebut natura naturata, alam yang diciptakan/ the created nature).
Alam kreatif adalah substansi rohani yang tunggal yang melalui sifat-sifat mewujudkan alam yang diciptakan, dunia material fisik dan mental. Karena tidak bisa diukur (tanpa sifat), energi kreatif tidak dipahami oleh manusia.
Alam yang diciptakan bias diukur karena memiliki sifat-sifat, dan kita benar-benar bisa memahaminya. Modus juga berarti “cara bertindak.” Ketika alam kreatif bertindak, ia menerima sifat-sifat tindakan sehingga bisa diukur dan dengan demikian bisa dimengerti. Bab empat belas dari Bhagavad-gita (ayat 3-5) memberikan penjelasan rangkap dua yang serupa tentang alam material sebagai mahat yoni, sumber sumber kelahiran, dan guna prakrti, yang bertindak melalui sifat-sifatnya. Alam material sebagai sumber kelahiran juga diistilahkan dengan mahad brahman, Brahman yang besar atau tidak dapat diukur. Mahad brahman adalah alam sebagai substansi kreatif yang bersifat rohani, yang merupakan material cause (sebab material) dari segala sesuatu. "Material cause" adalah sebuah istilah yang umum baik dalam filsafat Eropa (sebagai causa materialis) maupun filsafat Vedanta (sebagai upadana karana) yang berarti sumber bahan-bahan yang membentuk ciptaan. Kita mendapatkan contoh tentang sebab material dari kata Sanskerta yoni, yang secara harfiah berarti rahim. Rahim ibu menyediakan bahan-bahan untuk pembentukan embrio. Demikin juga, alam kreatif yang tidak dapat diukur menyediakan bahan-bahan untuk pembentukan dunia material di mana kita tinggal, di alam yang diciptakan yang dapat diukur. Kejelasan dari contoh ini menimbulkan sebuah pertanyaan: bagaimana dengan sang ayah, yang pasti terlebih dahulu menyuntikkan benih ke dalam rahim sebelum rahim itu bisa bertindak sebagai sebab material? Pertanyaan ini dijawab oleh Krishna, yang menyabdakan Bhagavadgita, bab 14 ayat4: aham bija pradah pita, "Aku adalah ayah pemberi benih." Dalam filsafat Vedanta, faktor penyeba ini diistilahkan sebagai nimitta-matram (the remote cause/penyebab jauh).
Penting untuk dicatat bahwa dengan menyatakan bahwa ciptaan sebagai hasil dari gabungan dua sebab (sebab material dan penyebab jauh), Bhagavad-gita menolak filsafat Deus sive natura, "the identity of God and nature/Tuhan dan alam adalah sama." Singkatnya, walaupun alam material diterima sebagai sebab langsung dari ciptaan, namun ia bukanlah sebab ciptaan yang mandiri. Benih yang disuntikkan oleh Krishna ke dalam rahim dari alam yang kreatif adalah terdiri dari sarva-bhutanam, semua makhluk hidup (Bhagavad-gita 14.3).  
Hal ini mengungkapkan kehalusan yang luar biasa dari pengertian Veda mengenai alam material, sehingga jika dibandingkan maka konsep hukum-hukum alam akan menjadi terbatas dan relatif. Kitab-kitab Veda menginformasikan kepada kita bahwa alam semesta material adalah sebuah ciptaan multidemensi, dan setiap dimensi memiliki hukumnya masing-masing. Adalah sebuah spekulasi liar dari para ilmuwan duniawi jika menganggap bahwa hukum-hukum yang dilihat “di sini“ bisa diberlakukan di seluruh alam semesta— namun kebanyakan orang menerima kepercayaan ini sebagai sebuah prinsip yang aksiomatis. Hukum-hukum alam, seperti gravitasi, entrofi, dan elektromagnetisme, adalah terbatas sampai dimensi-dimensi tertentu.
Kita harus siap untuk mengakui bahwa ada sesuatu atau makhluk hidup yang terbebas dari hukum-hukum ini. Namun tidak ada seorang dan sesuatupun di dalam dunia material ini yang terbebas dari guna—sifat-sifat alam: "Tidak ada makluk apapun, baik yang berada di sini maupun di antara dewa-dewa di susunan planet yang lebih tinggi, yang bebas dari sifat-sifat ini yang lahir dari alam material.” (Bhagavadgita18.40) Bhagavad-gita14.5 menjelaskan bahwa pada saat Krishna memasukkan para jiwa ke dalam rahim alam material, kesadaran mereka terkondisi oleh sifat-sifat alam, tri-guna.  
Sifat-sifat ini terdiri dari tiga ukuran interaksi antara jiwa yang memiliki kesadaran dan materi yang tidak sadar. Sifat-sifat ini bisa diumpamakan seperti tiga warna utama, kuning, merah dan biru, sedangkan kesadaran bisa dibandingkan sinar yang terang. “Terkondisinya” (nibhadnanti) kesadaran pada saat ia masuk ke dalam rahim alam material bisa dibandingkan dengan tampilan cahaya dari sinar ketika ia menembus sebuah prisma. Warna kuning melambangkan sattva-guna, sifat kebaikan. Sifat ini adalah suci, bercahaya, dan tanpa dosa. Sifat kebaikan mengikat sang roh dengan indra kebahagiaan dan pengetahuan. Warna merah melambangkan rajo-guna, sifat nafsu, penuh dengan hasrat dan keinginan. Akibat pengaruh nafsu para jiwa sibuk dalam pekerjaan untuk meraih prestasi material. Warna biru melambangkan tamo-guna, sifat kebodohan, yang mengikat sang roh kepada kegilaan, kelambanan dan tidur. Seperti halnya tiga warna utama bergambung untuk membentuk banyak macam warna, begitu juga tiga sifat alam (tri-guna) menghasilkan banyak macam keadaan kesadaran yang terkondisi yang mencakup seluruh makhluk hidup di alam semesta material.
 Istilah tri-loka sering ditemukan dalam kitab-kitab Veda. Tri-loka berarti “tiga dunia.” Alam semesta dibagi oleh tiga sifat menjadi tiga dunia, atau tingkat kesadaran: bhur, bhuvah dan svar (daerah kasar, daerah halus dan daerah surga). Di svargaloka atau planet-planet surga, tinggal mahluk-mahluk yang memiliki kehebatan melebihi manusia di bumi yang dikenal sebagai devata, yang menikmati hidup hampir tak terbayangkan oleh manusia di bumi. Di daerah halus terdapat hantu-hantu dan mahluk-mahluk halus. Dan di alam kasar atau bumi terdapat manusia dan mahluk-mahluk lain dengan badan-badan berurat dan berotot, termasuk binatang dan tumbuhtumbuhan. Terdapat daerah di bawah bumi di mana para asura yang kuat tinggal. Dan ada daerah yang dikenal sebagai naraka, neraka. Sebagaimana dijelaskan dalam Bhagavad-gita3.27, para jiwa yang tinggal di daerah-daerah kesadaran material ini secara keliru menganggap dirinya sebagai pelaku dari kegiatan-kegiatan yang bersifat fisik maupun mental yang sebenarnya dilakukan oleh tiga sifat alam material. Pernyamaan diri yang keliru ini disebut sebagai ahankara, atau keakuan palsu. Keakuan palsu adalah akar keterikatan kita di dunia material.
 Penjelasan yang mendetail dari tiga jenis keakuan palsu dijelaskan oleh Krishna kepada Uddhava. Ajaran ini dicatat dalam skanda sebelas Bhagavata Purana / Srimad-Bhagavatam. Dengan keakuan asli dalam sifat kebaikan (yang secara teknis disebut vaikaraka), mahluk hidup mempersamakan dirinya dengan pikiran. Apakah pikiran itu. Pikiran adalah media bayangan halus yang diumpamakan seperti cermin dari sang jiwa. Dengan sifat kebaikannya yang alamiah, pikiran adalah media yang cocok untuk merefleksikan kebenaran mutlak yang kekal. Namun pikiran juga bisa merefleksikan objek indria-indria dan dengan demikian menjadi terpesona terhadap penampilan dunia material yang bersifat sementara. Oleh karena itu Amrtabindu Upanisad menyatakan, “Bagi manusia, pikirannya adalah penyebab dari keterikatannya dan pikirannya juga adalah penyebab dari pembebasannya.” Dengan keakuan palsu dalam sifat nafsu (aindriya atau taijasa), sang roh mempersamakan dirinya dengan indria-indria fisik dan kecerdasan kreatif dengan mana indria-indria dipekerjakan secara ahli. Dengan keakuan palsu dalam sifat kebodohan (tamasa), sang jiwa mempersamakan dirinya dengan objek-objek yang dirasakan melalui indra-indra fisik, misalnya: apa yang didengar, apa yang dirasakan, apa yang dilihat, apa yang dikecap dan apa yang dicium.
 Krishna mengatakan bahwa keakuan palsu adalah cid-acin-mayah, yang meliputi baik sang roh maupun materi, karena ia mengikat cid (roh yang memiliki kesadaran) kepada acid (materi yang tidak memiliki kesadaran). Pengembangan kebaikan alamiah dari pikiran adalah intisari dari metode yoga menurut Veda, yang disimpulkan oleh Krishna sebagai berikut: “Pikiran bisa dikendalikan apabila ia dipusatkan kepada Tuhan Yang Mahaesa. Setelah mencapai keadaan yang mantap, pikiran menjadi bebas dari keinginan-keinginan kotor untuk melakukan kegiatan-kegiatan material; demikianlah seiring sifat kebaikan menjadi semakin kuat, orang akan bisa sepenuhnya terbebas dari sifat nafsu dan kebodohan, dan secara berangsur-angsur bahkan melampaui sifat kebaikan yang bersifat material. Ketika pikiran telah bebas dari bahan bakar sifat-sifat alam, maka api kehidupan material akan bisa dipadamkan. Lalu sang jiwa akan mencapai tingkatan rohani hubungan langsung dengan objek meditasinya, Tuhan Yang Maha esa . "( S r i ma d - Bhagavatam11.9.12), Tingkat rohani hubungan langsung dari sang jiwa dengan Tuhan Yang Mahaesa adalah keadaan mutlak. bagaimana para yogi merasakan hal ini dijelaskan d a l a m S r i m a d - Bhagavatam11.14.45. “Ia melihat roh-roh individual menyatu dengan Roh Yang Utama, seperti halnya orang melihat sinar matahari menyatu sepenuhnya dengan bola matahari. " Matahari adalah jyotisi, sumber cahaya.
 Demikian juga, Krishna, Roh Yang Utama, adalah sumber dari cahaya kesadaran dari seluruh mahluk hidup. Sinar matahari terbentuk dari foton, yaitu bagian cahaya yang sangat kecil. Demikian juga, setiap roh individual (yang secara tehnik disebut jiva-atma ) adalah unit kesadaran yang sangat kecil. Kata Sanskerta yoga berarti “hubungan” melalui bhakti-yoga ( yoga pengabdian yang suci murni), kesadaran dari roh individual berhubungan dengan sumbernya, Krishna. Inilah yang dinamakan kesadaran Krishna. Dengan kesadaran Krishna, sang roh melepaskan dirinya dari pengaruh tiga sifat alam dan kembali kepada Tuhan.
 Bibliografi —Diterjemahkan dari http://www.iskcon.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar